Buruh Semarang Resah Soal Upah
Ketua Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Jawa Tengah Mulyono (kanan). Foto: dokpri/Ramanda Bima Prayuda.
Semarang, 19/6/25 — Di tengah kerja keras tanpa kepastian, banyak buruh informal di Semarang masih menerima upah di bawah layak, tanpa kontrak maupun jaminan perlindungan kerja. Ketimpangan ini kembali menjadi sorotan seiring keluhan buruh atas rendahnya penghasilan dan terbatasnya perlindungan hukum yang mereka terima.
Pekerja di sektor informal seperti buruh harian, penjaga toko, dan jasa rumahan umumnya bekerja tanpa ikatan kontrak dan tidak memiliki akses terhadap jaminan sosial. Ketua KASBI Jawa Tengah, Mulyono, menyebut kondisi tersebut membuat posisi tawar mereka lemah dan rentan menerima upah di bawah standar kebutuhan hidup.
Dinas Ketenagakerjaan Kota Semarang menjelaskan, perbedaan pengupahan terjadi karena pelaku usaha kecil dan mikro belum diwajibkan menerapkan Upah Minimum Kota (UMK), berbeda dengan sektor menengah dan besar. Di sektor informal, sistem upah masih bergantung pada kesepakatan langsung antara pekerja dan pemberi kerja.
Kebijakan nasional, terutama PP No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, juga menjadi sorotan. Beberapa serikat buruh menilai regulasi ini belum sepenuhnya memberikan ruang untuk penyesuaian upah yang berpihak pada pekerja informal. Meski demikian, implementasi kebijakan tersebut berada dalam kewenangan pemerintah pusat dan daerah.
Sebagai langkah perbaikan, KASBI mendorong Pemkot Semarang menyusun kebijakan pengupahan berbasis kajian kebutuhan hidup riil masyarakat. Mereka juga menekankan pentingnya pelibatan serikat buruh dalam proses penetapan UMK, tidak hanya sebagai pendengar, tetapi sebagai mitra strategis.
Sementara itu, Dinas Ketenagakerjaan menyebut penanganan lebih lanjut masih menunggu arahan dari pemerintah pusat. Di sisi lain, KASBI menilai minimnya inisiatif di tingkat daerah dapat memperbesar kesenjangan dan memperpanjang deretan persoalan yang dihadapi buruh.
“Upah bukan sekadar angka. Ini menyangkut keadilan, pengakuan, dan keberlangsungan hidup,” ujar Mulyono, Senin (16/6/2025).
Pemkot Semarang diharapkan dapat mengambil langkah lebih proaktif dalam merespons persoalan ini. Kolaborasi antara pemerintah, serikat buruh, dan pelaku usaha dinilai menjadi kunci untuk membangun sistem pengupahan yang inklusif, adil, dan berkelanjutan bagi seluruh pekerja.
Penulis : Ramanda Bima Prayuda
Mahasiswa S1 Ilmu Politik, Universitas Negeri Semarang
Posting Komentar untuk "Buruh Semarang Resah Soal Upah"