Dulu Kumuh, Kini Kampung Batik Jadi Ikon Wisata
Kampung Batik
merupakan salah satu kawasan bersejarah di Kota Semarang yang sejak dulu
dikenal sebagai sentra kerajinan batik. Namun, kawasan ini sempat mengalami
kemunduran pasca dibakar tentara Jepang pada 17 Oktober 1945, dan kembali
bangkit pada 2006 sebagai sentra pengepul batik di Pasar Johar. Kini, kawasan
ini tidak lagi memproduksi batik di lokasi akibat rusaknya instalasi pengolahan
limbah, namun tetap mempertahankan aktivitas budaya melalui wisata edukasi dan
mural-mural sejarah.
Ignatius Luwiyanto,
tokoh masyarakat sekaligus penggagas revitalisasi Kampung Batik, menyebut upaya
menata kembali kawasan ini dimulai sejak 2016 dengan modal gotong royong warga.
“Dulu sempat banjir, rob, dan dikenal sebagai kampung kriminalitas karena dekat
terminal. Tapi kami buktikan bisa bangkit lagi. Lambat laun banyak wartawan
datang, lalu terkenal, dan dijadikan destinasi wisata oleh pemerintah,” ungkap
Luwi saat ditemui, Kamis (13/6/2025).
Ignatius Luwiyanto berbincang dalam wawancara di Kampoeng Djadhoel, Semarang, Kamis (13/6/2025). (Sumber: Mukhamad Bayu Kelana/Dokumentasi Pribadi)
Revitalisasi ini
menjadi bagian dari program Kampung Tematik yang digagas Pemerintah Kota
Semarang. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang menilai, Kampung Batik
memiliki nilai historis dan potensi ekonomi yang penting untuk diangkat.
“Sayang sekali kalau tidak direvitalisasi, karena ini satu kampung dengan
identitas kuat sebagai pembatik. Kampung Batik bisa jadi kampung turistik
sekaligus wadah peningkatan SDM masyarakat,” ungkap Hadi Suswanto, Analis
Informasi Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang.
Sejak dibentuknya
Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) pada 2018, pengelolaan wisata Kampung Batik
kian terstruktur. Pemerintah memberikan pelatihan tentang penerimaan tamu,
penjualan produk, hingga pembuatan paket wisata. Selain itu, mural-mural
bertema sejarah Kota Semarang menghiasi dinding kampung, sementara warga aktif
mengembangkan motif batik khas Semarangan yang dikenal dengan warna mencolok.
Meski demikian,
revitalisasi Kampung Batik tidak lepas dari tantangan. Kerusakan infrastruktur,
minimnya minat generasi muda, hingga kebutuhan akan dana untuk menunjang
fasilitas dan promosi masih menjadi pekerjaan rumah. “Kalau ingin terus menarik
wisatawan, harus ada inovasi, kegiatan rutin, dan anak-anak muda harus
dilibatkan. Sekarang sudah ada paket wisata bareng Kota Lama dan Sam Poo Kong,”
tambah Luwi.
Dampak positif
revitalisasi ini mulai terasa. Citra kampung yang dulu rawan berubah menjadi
kawasan wisata budaya yang mulai dikenal publik. Semangat gotong royong warga
kembali hidup, peluang ekonomi melalui batik dan wisata meningkat, dan
nilai-nilai budaya lokal kembali dihidupkan. Pemerintah juga berkomitmen agar
Kampung Batik tetap fokus pada batik Semarangan dan tak kehilangan keasliannya.
Ke depan,
masyarakat berharap pemerintah bisa membangun kembali balai kampung dan
memberikan dukungan lebih luas untuk pelatihan dan regenerasi. Kampung Batik
Djadhoel kini bukan hanya tempat belanja batik, tetapi juga ruang wisata budaya
yang menyajikan cerita sejarah kota melalui mural, produk batik, serta suasana
kampung tempo dulu.
Penulis: Mukhamad Bayu Kelana
Mahasiswa S1 Ilmu Politik, Universitas Negeri Semarang



Posting Komentar untuk "Dulu Kumuh, Kini Kampung Batik Jadi Ikon Wisata"